TIMES BALI, YOGYAKARTA – Menurut laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2022, mayoritas pelaku kejahatan korupsi adalah sarjana atau lulusan perguruan tinggi. Ini artinya, para pelaku kejahatan korupsi adalah mereka yang terbilang cukup mengenyam pendidikan formal.
Laporan KPK ini juga semakin diperkuat oleh fenomena korupsi dana pendidikan oleh kepala sekolah (kepsek), rektor dan pihak terkait lainnya yang belakangan ini juga banyak yang terjerat kasus kejahatan korupsi. Di mana, mereka yang seharusnya menjadi teladan dan contoh bagi yang lain, ternyata juga tidak mampu menahan diri dari godaan uang haram.
Dana pendidikan saja dikorupsi. Bagaimana dengan anggaran publik yang lain? Mengapa hal itu terjadi? Bukankah seharusnya semakin tinggi pendidikan individu maka semakin mapan dan tinggi pula standar moralnya? Namun mengapa mereka yang berpendidikan tinggi justru semakin korup dan tidak bermoral? Inilah anomali pendidikan kita.
Secara sosiologis, fenomena korupsi yang dilakukan oleh individu-individu yang berpendidikan tinggi itu memang berkaitan erat dengan kebudayaan kita yang korup. Yang seringkali memilih menormalisasi perilaku korup dalam kehidupan sehari-hari. Yang menganggap bahwa “pangkas-memangkas” anggaran/dana publik sebagai hal yang wajar.
Namun demikian, jika ditelisik lebih lanjut, fenomena korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang bertitel ini erat kaitannya dengan pola pendidikan kita dalam menjalankan fungsi pendidikannya. Baik di sekolah dasar (SD) hingga di perguruan tinggi itu sendiri.
Yang mana, secara formal pendidikan kita hanya fokus mencetak individu-individu berpengetahuan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan industri, namun rapuh secara moral.
Bukti bahwa pendidikan kita hanya fokus mencetak individu-individu berpengetahuan namun rapuh secara moral ini bisa dilihat dari cara dunia pendidikan kita menilai siswa/mahasiswa. Yang mana keberhasilan pelajar hanya diukur berdasarkan angka-angka. Sementara hal-ihwal yang berkenaan dengan moral integritas pelajar kurang diperhatikan.
Akhirnya, pendidikan, yang seharusnya mampu menjadikan individu semakin mapan secara intelektual dan moral, pendidikan kita hanya mampu mencerdaskan siswa/mahasiswa secara intelektual, tetapi tidak mampu menjadikan siswa/mahasiswa mapan secara moral: cerdas namun korup. Pengetahuan siswa/mahasiswa berkembang, namun moralnya bangkrut.
Oleh karena itu, hal ini harus menjadi perhatian tersendiri bagi pengelola pendidikan. Bahwa tugas pendidikan bukan hanya mengembangkan kecerdasan siswa/mahasiswa untuk melayani kebutuhan industri, tetapi juga membentuk mental dan moral siswa/mahasiswa.
Pada konteks ini, saya tidak hendak mengatakan bahwa pengembangan intelektualitas siswa/mahasiswa sudah tidak penting dan relevan. Bagaimana pun kondisinya, pengembangan intelektualitas tetaplah penting dilakukan guna membangun peradaban. Akan tetapi, pengembangan intelektualitas ini bukanlah tugas pendidikan satu-satunya. Di samping mengembangkan intelektualitas siswa/mahasiswa, pendidikan juga memiliki tugas untuk membangun dan membentuk moral siswa/mahasiswa yang tak kalah pentingnya.
Jika kita kembali pada kasus fenomena korupsi di kalangan orang-orang yang berpendidikan tinggi, maka jelas bahwa problem utama kita saat ini adalah surplus ”orang-orang berpengetahuan, namun defisit orang-orang yang bermoral”. Nah, pada konteks ini, dunia pendidikan kita seharusnya diarahkan untuk menjawab persoalan serius ini.
Pendidikan adalah titik strategis untuk melakukan perubahan secara besar-besaran. Yang dalam dunia politik sering disebut dengan revolusi. Termasuk dalam hal ini, memberantas korupsi yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa. Semua ini tergantung pada dunia pendidikan kita: hendak mengambil peran mulia itu atau tidak?
Jika dunia pendidikan kita depan hanya terus fokus mencetak individu-individu yang mapan secara intelektual, namun rapuh secara moral, percayalah, dunia pendidikan kita tak akan mampu memberi sumbangsih apa-apa pada kehidupan kita di masa depan. Kecuali kemajuan yang palsu; kemajuan yang diselimuti oleh kemunafikan intelektual.
***
*) Oleh : Ahmad Farisi, Pengamat Politik dan Peneliti di Academi Hukum dan Politik (AHP) Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Memberantas Korupsi dari Sekolah dan Kampus
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |