TIMES BALI, BALI – Liburan panjang adalah momen yang paling dinanti, waktu untuk rehat dari rutinitas, eksplorasi tempat baru, atau sekadar bermalas-malasan. Namun, bagi sebagian besar remaja di era digital saat ini, liburan seringkali berarti peningkatan drastis waktu layar.
Dari scrolling tanpa henti di media sosial, maraton serial di platform streaming, hingga bermain game online berjam-jam, perangkat digital telah menjadi teman setia yang sulit dilepaskan. Begitu liburan usai dan bel sekolah kembali berdering, transisi kembali ke realitas seringkali terasa berat.
Inilah saatnya membahas fenomena detoks digital setelah liburan: sebuah langkah esensial untuk membangkitkan kembali semangat remaja yang produktif dan siap menghadapi tantangan baru.
Keterlenaan pada dunia digital selama liburan bukan tanpa alasan. Akses mudah ke hiburan tanpa batas, tekanan sosial untuk tetap up-to-date dengan teman-teman secara daring, serta daya tarik konten yang adiktif, semuanya berkontribusi pada peningkatan penggunaan gawai.
Akibatnya, banyak remaja mengalami apa yang disebut "liburan digital hangover": perasaan lesu, sulit berkonsentrasi, pola tidur terganggu, hingga kecemasan sosial saat harus kembali berinteraksi di dunia nyata.
Gejala-gejala ini merupakan tanda jelas bahwa otak dan tubuh membutuhkan istirahat dari stimulasi berlebihan yang diberikan oleh perangkat digital. Proses detoks digital adalah tentang mengembalikan keseimbangan itu.
Langkah pertama dalam detoks digital adalah kesadaran dan penerimaan. Remaja perlu memahami bahwa kelelahan atau kurangnya motivasi yang mereka rasakan mungkin terkait erat dengan kebiasaan digital selama liburan. Ini bukan tentang menghakimi diri sendiri, melainkan tentang mengenali pola dan dampaknya.
Orang tua dapat berperan penting di sini, bukan dengan memarahi atau melarang, tetapi dengan mengajak berdiskusi secara terbuka dan empatik. Diskusikan bagaimana screen time yang berlebihan mungkin memengaruhi kualitas tidur, mood, atau kemampuan mereka untuk kembali fokus pada tugas-tugas sekolah.
Setelah kesadaran, langkah berikutnya adalah membuat batasan yang realistis dan bertahap. Detoks digital tidak harus berarti memutuskan hubungan total dengan gawai, terutama di era di mana sebagian besar pembelajaran dan komunikasi terjadi secara daring.
Fokusnya adalah mengurangi waktu layar yang tidak esensial dan mengisi kekosongan itu dengan aktivitas yang lebih bermakna. Mulailah dengan menetapkan "zona bebas gawai" di rumah, misalnya saat makan bersama keluarga atau satu jam sebelum tidur.
Ajak remaja untuk mengatur batas waktu penggunaan aplikasi tertentu melalui fitur digital wellbeing di ponsel mereka. Kunci keberhasilan terletak pada konsistensi dan fleksibilitas, menyesuaikan batasan seiring waktu.
Yang tak kalah penting adalah mengisi kekosongan waktu dengan aktivitas pengganti yang positif. Ini adalah inti dari detoks digital yang efektif. Dorong remaja untuk kembali terlibat dalam hobi lama atau mencoba yang baru: membaca buku fisik, berolahraga di luar ruangan, melukis, bermain musik, atau sekadar menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga dan teman secara langsung.
Aktivitas fisik, khususnya, terbukti sangat efektif dalam meningkatkan mood, mengurangi stres, dan memperbaiki kualitas tidur. Selain itu, interaksi sosial tatap muka membantu mengembalikan kemampuan bersosialisasi yang mungkin sedikit tumpul karena terlalu banyak interaksi daring.
Detoks digital juga mencakup membentuk rutinitas tidur yang sehat. Layar gawai memancarkan cahaya biru yang dapat mengganggu produksi melatonin, hormon tidur.
Mendorong remaja untuk mematikan semua gawai setidaknya satu jam sebelum tidur dapat secara signifikan meningkatkan kualitas istirahat mereka. Tidur yang cukup dan berkualitas adalah fondasi penting untuk konsentrasi, mood yang stabil, dan energi yang dibutuhkan untuk kembali bersemangat dalam belajar dan beraktivitas.
Pada akhirnya, detoks digital pasca-liburan adalah tentang penyesuaian mental dan fisik. Ini adalah proses yang membutuhkan kesabaran, baik dari remaja itu sendiri maupun dari orang tua.
Tujuannya bukan untuk menghilangkan gawai dari kehidupan mereka, melainkan untuk membantu mereka mengembangkan hubungan yang lebih sehat dan seimbang dengan teknologi.
Dengan kembali mengontrol waktu layar, remaja dapat menemukan kembali fokus, meningkatkan kreativitas, dan membangkitkan semangat produktivitas yang mungkin sempat terlena.
Ini adalah investasi berharga bagi kesehatan mental, fisik, dan kesuksesan akademis mereka di tahun yang baru. Mari kita bantu remaja melangkah dari keterlenaan liburan digital menuju babak baru yang penuh semangat dan pencapaian. (*)
***
*) Oleh : Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP N 1 Banjar Seririt Bali.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |