TIMES BALI, JAKARTA – Hamas menilai usulan gencatan senjata jangka pendek di Gaza yang disodorkan Amerika Serikat baru-baru ini ternyata hanya tipu-tipu saja
Pejabat Hamas, Izzat al-Risheq seperti dilansir IRNA mengatakan, usulan tersebut tidak menyebutkan tentang ketentuan penghentian sepenuhnya serangan zionis Israel, penarikan pasukan pendudukan Israel dari Gaza, serta memfasilitasi kembalinya warga Palestina yang mengungsi. Padahal itu adalah syarat penting bagi Hamas.
Ia menuduh Israel dan Amerika Serikat menggunakan strategi "pergantian peran" di Lebanon, mirip dengan taktik yang digunakan di Gaza, untuk mempertahankan tekanan terhadap perlawanan Palestina.
Pendekatan ini, lanjut dia, mencerminkan upaya yang lebih luas untuk menunda negosiasi dan menggunakan gencatan senjata sebagai kedok untuk melanjutkan operasi militernya.
Seorang pejabat Hamas lainnya, Sami Abu Zuhri, juga menyatakan, bahwa usulan tersebut, yang hanya menawarkan gencatan senjata sementara, tidak bisa memenuhi tuntutan inti gerakan yakni mengakhiri kekerasan yang sedang berlangsung terhadap warga Palestina.
Kepada Al Jazeera, Sami Abu Zuhri menegaskan, bahwa hanya penghentian serangan secara total dan langkah nyata terhadap tuntutan mereka yang akan dianggap bisa diterima.
Respon Menghancurkan
Sementara itu, Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatollah Seyyed Ali Khamenei memperingatkan musuh-musuhnya itu, bahwa mereka akan menerima respons yang menghancurkan atas apa yang mereka lakukan terhadap Republik Islam Iran dan terhadap Front Perlawanan.
"Musuh, termasuk AS dan rezim Zionis, harus tahu bahwa mereka pasti akan menerima respons yang sangat keras atas apa yang mereka lakukan terhadap Iran dan Front Perlawanan," kata Ayatollah Khamenei pada hari Sabtu saat berpidato di hadapan sekelompok mahasiswa di Teheran.
Ia menerima para mahasiswa itu pada malam Hari Mahasiswa Nasional yang menandai ulang tahun pengambilalihan bekas Kedutaan Besar AS di Iran pada tahun 1979.
Peristiwa tahun 1979 tersebut, yang jatuh pada tanggal 13 bulan Aban dalam kalender Iran, juga diakui sebagai Hari Nasional Melawan Arogansi Global di Iran.
Dikatakannya, bekas Kedutaan Besar AS di Iran itu bukan sekadar misi diplomatik, tetapi juga menjadi tempat merencanakan provokasi internal terhadap Revolusi Islam, bahkan mengancam nyawa mendiang pendiri Republik Islam Imam Khomeini.
Ayatollah Khamenei mengatakan bahwa menghadapi arogansi global merupakan kewajiban agama, karena hal itu mempermalukan bangsa-bangsa dan berupaya mendominasi mereka secara ekonomi, militer, dan budaya.
"Mereka telah mempermalukan bangsa Iran selama bertahun-tahun," katanya seraya menambahkan, bahwa bangsa Iran memerangi imperialisme dan pasti akan melanjutkan perjuangannya.
Ia juga mengatakan bahwa Iran tentu akan melakukan segala yang diperlukan dalam persiapannya menghadapi imperialisme dalam hal militer, persenjataan, atau tindakan politik.
Para pejabat negara saat ini tengah berupaya keras untuk menghadapi arogansi global dan sistem kriminal yang mengatur tatanan dunia saat ini, dan mereka pasti tidak akan menyia-nyiakan upaya dalam hal ini.
Ayatollah Khamenei mencatat bahwa ini bukanlah masalah balas dendam, tetapi ini adalah masalah langkah logis yang sesuai dengan agama dan hukum internasional.
"Ini adalah masalah menghadapi kekejaman internasional. Bagi bangsa Iran, sebagaimana diilhami oleh ajaran Islam, menghadapi kekejaman adalah kewajiban agama," tegas Pemimpin Tertinggi Iran tersebut.
"Langkah bijaksana bangsa Iran, yang sesuai dengan logika internasional, Islam, dan kemanusiaan, harus terus dilanjutkan melawan arogansi global," tambahnya.
Dikatakan, kelanjutan jalan itu memerlukan pemikiran dan perolehan ilmu pengetahuan, teknologi, dan peta jalan
Sedangkan media Iran lainnya, Tehran Times melansir, penasihat Timur Tengah Presiden AS Joe Biden, Brett McGurk dan utusan khusus Amos Hochstein berada di Israel pada hari Kamis.
Mereka bertemu dengan pejabat senior termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, menteri perang Yoav Gallant, direktur Shin Bet Ronan Bar dan kepala Mossad David Barnea.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan pembicaraan hari Kamis telah membuat "kemajuan baik" pada kesepakatan potensial.
Namun, serangan gencar Israel terhadap Lebanon menunjukkan kenyataan yang berbeda.
Pada Jumat pagi, Israel menggempur pinggiran selatan Beirut dengan sedikitnya 10 serangan, menurut Reuters.
Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati mengatakan serangan baru di Beirut menandakan penolakan Israel terhadap gencatan senjata yang dirancang AS.
Sementara itu, Perdana Menteri Lebanon mengisyaratkan bahwa perluasan serangan Israel sama saja dengan menyiramkan air dingin pada upaya perdamaian.
“Ancaman Israel yang berulang-ulang kepada penduduk untuk mengevakuasi seluruh kota dan desa, dan serangan destruktif yang kembali menargetkan pinggiran selatan Beirut, merupakan indikator yang mengonfirmasi penolakan musuh Israel terhadap semua upaya yang dilakukan untuk mengamankan gencatan senjata,” kata Najib Mikati dalam sebuah pernyataan.
Mikati membantah laporan bahwa AS yang menyebutkan meminta Lebanon mengumumkan untuk gencatan senjata sepihak dengan Israel.
Pemerintah Lebanon, kata Mikati, menyatakan tetap berkomitmen pada gencatan senjata bilateral.
Berangkat dari fakta-fakta itulah, Hamas melihat bahwa Amerika Serikat hanya tipu-tipu saja soal usulannya tentang gencatan senjata jangka pendek di Gaza yang disodorkannya baru-baru ini. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Hamas: Usulan AS Soal Gancatan Jangka Pendek di Gaza Hanya Tipu-Tipu
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Deasy Mayasari |