https://bali.times.co.id/
Opini

Sekolah Cemas Menyambut Ajaran Baru

Senin, 29 Desember 2025 - 18:47
Sekolah Cemas Menyambut Ajaran Baru Saiful Bahri, M. Pd., Praktisi Pendidikan dan Guru MA Unggulan Cahaya Cendekia, Jimbaran, Badung, Bali.

TIMES BALI, BALI – Setiap datangnya tahun ajaran baru, sekolah-sekolah di negeri ini selalu berdandan. Spanduk dipasang, bangku dirapikan, seragam disiapkan. Namun di balik hiruk-pikuk administratif itu, ada kegelisahan yang jarang disuarakan: apakah pendidikan kita sungguh sedang bersiap, atau sekadar mengulang rutinitas tanpa makna?

Ajaran baru seharusnya bukan hanya pergantian kalender akademik, melainkan momentum refleksi. Ia ibarat fajar yang memberi kesempatan untuk memulai ulang, menata kembali arah pendidikan yang selama ini terseret arus formalitas. Sayangnya, yang sering terjadi justru sebaliknya: sekolah sibuk menyambut ajaran baru dengan daftar ulang, sementara esensi belajar dibiarkan berjalan seadanya.

Di ruang-ruang kelas, guru kembali berdiri di depan papan tulis dengan beban yang sama. Kurikulum berganti nama, tetapi metode sering tertinggal di masa lalu. Buku ajar baru dibagikan, namun daya kritis peserta didik belum tentu ikut tumbuh. Ajaran baru pun hadir seperti janji yang diucapkan berulang-ulang, tetapi jarang ditepati.

Pendidikan kita masih terlalu sering diperlakukan sebagai mesin produksi nilai. Peserta didik diukur dari angka, bukan dari daya nalar. Guru dikejar administrasi, bukan didorong inovasi. Sekolah akhirnya lebih sibuk membuktikan kepatuhan pada sistem ketimbang keberanian mendidik dengan nurani.

Padahal, dunia di luar sekolah berubah jauh lebih cepat dari jadwal kurikulum. Anak-anak hari ini hidup di tengah banjir informasi, kecerdasan buatan, dan perubahan sosial yang tak pernah diajarkan secara utuh di kelas. Jika sekolah hanya mengulang pola lama, maka ajaran baru hanyalah kemasan baru dari isi yang usang.

Menyambut ajaran baru seharusnya dimulai dari pertanyaan paling mendasar: untuk apa sekolah ada? Apakah sekadar meluluskan, atau menumbuhkan manusia merdeka berpikir? Pendidikan sejati tidak hanya mencetak siswa pintar, tetapi membentuk warga yang berdaya, beretika, dan berempati.

Guru memegang peran kunci dalam momentum ini. Namun terlalu sering, guru diposisikan sebagai pelaksana teknis, bukan subjek intelektual. Mereka diminta patuh pada modul, tetapi jarang diberi ruang bereksperimen. Padahal, guru yang merdeka berpikir adalah syarat utama lahirnya murid yang merdeka belajar.

Ajaran baru juga semestinya menjadi waktu untuk mengembalikan sekolah sebagai ruang aman dan manusiawi. Di banyak tempat, sekolah masih menjadi ruang tekanan: target, ranking, dan kompetisi yang tak sehat. 

Anak-anak belajar bukan karena cinta pada ilmu, tetapi karena takut pada hukuman dan nilai rendah. Pendidikan pun kehilangan ruhnya sebagai proses pembebasan.

Orang tua pun tak bisa lepas tangan. Menyambut ajaran baru bukan sekadar membeli seragam dan buku tulis, tetapi menyiapkan lingkungan rumah yang mendukung belajar. Ketika rumah hanya menjadi ruang tuntutan, sekolah akan kewalahan sendirian. Pendidikan adalah kerja kolektif, bukan tugas satu institusi.

Di sisi lain, negara juga perlu jujur bercermin. Kebijakan pendidikan sering kali berubah tanpa cukup evaluasi di lapangan. Program datang silih berganti, sementara kesiapan sekolah tak selalu diperhitungkan. Ajaran baru pun menjadi panggung eksperimen kebijakan, tempat guru dan siswa menjadi penyesuai keadaan.

Namun di tengah kritik itu, harapan tetap ada. Banyak sekolah dan guru yang diam-diam berjuang melampaui keterbatasan. Mereka menciptakan kelas dialogis, menumbuhkan literasi, dan menyalakan rasa ingin tahu. Di tangan mereka, ajaran baru benar-benar dimaknai sebagai awal, bukan sekadar formalitas.

Menyambut ajaran baru berarti berani meninggalkan kebiasaan lama yang tak lagi relevan. Berani mengakui bahwa pendidikan kita masih punya pekerjaan rumah besar. Dan berani memperlakukan sekolah bukan sebagai pabrik, melainkan sebagai taman tumbuhnya manusia.

Jika ajaran baru hanya disambut dengan seremoni, maka sekolah akan terus berjalan di tempat. Tetapi jika ia disambut dengan refleksi dan keberanian berubah, pendidikan bisa kembali menemukan arah. Sebab sejatinya, setiap tahun ajaran baru adalah kesempatan negara ini memperbaiki masa depannya melalui ruang kelas yang hidup, guru yang berpikir, dan murid yang merdeka.

***

*) Oleh : Saiful Bahri, M. Pd., Praktisi Pendidikan dan Guru MA Unggulan Cahaya Cendekia, Jimbaran, Badung, Bali.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bali just now

Welcome to TIMES Bali

TIMES Bali is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.