TIMES BALI, SURABAYA – Pesawat Super Jet lepas landas dari Bandara Juanda pukul 13.15 WIB, Senin 27 November 2023. Rombongan Jurnalis Pokja Grahadi bersama jajaran Biro Adpim Pemprov Jatim menundukkan kepala sejenak berharap keselamatan dalam penerbangan hingga tiba di tujuan.
Satu jam lebih 10 menit, pesawat mendarat di Bandara Komodo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Mereka disambut mini bus menuju perjalanan panoramik berlatar pemandangan bukit. "Desa Labuan Bajo, kami datang," mereka nampak girang.
Goa Batu Cermin, berhias fosil karang bawah laut. (FOTO: Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Dari Jalan MGR Van Beckum, Jalan Frans Lega, menuju pusat kota. Sebelah kanan terlihat Kantor Bupati Manggarai Barat, sebelah kiri ada gedung kejaksaan negeri juga Polresta setempat pada sisinya. Ini adalah pusat kota. Memang terletak di dataran tinggi.
Kabupaten Manggarai telah maju pesat. Jauh dari bayangan lokasi terpencil. Kota wisata premium. Banyak wisawatan domestik hingga mancanegara berdatangan.
Di sini hanya ada tiga lampu merah. Lampu merah terakhir menuju perbatasan Jalan Batu Cermin, Desa Batu Cermin. Desa paling besar di Kecamatan Komodo. Satu kecamatan dengan Desa Labuan Bajo.
Pink Beach, pasir pantai berwarna merah muda seperti dalam dongeng negeri surgawi. (FOTO: Lely Yuana/TIMES Indonesia)
Dari dalam bis, rombongan bercengkerama dan bercanda. Tapi juga serius menyimak paparan tour guide. Sementara di balik kaca, mendung menggelayut, sedangkan panas masih terasa. Dikelilingi bukit-bukit hijau. Pepohonan tumbuh subur di Bumi Flores.
Tour guide rombongan bernama Wawan dari agen perjalanan Big Ganesha. Namanya seperti orang Jawa, tapi dia asli Flores. Bisa Bahasa Jawa, karena bos nya orang Jawa. Setelah perjalanan sekitar 15 menit, bus tiba di lokasi wisata Goa Batu Cermin.
Batu Cermin ditemukan 1951 oleh seorang misionaris sekaligus arkeolog. Ia menyebut bahwa dulunya Flores merupakan kawasan bawah laut. "Batu Cermin bukanlah cermin kaca. Tapi refleksi pancaran sinar matahari," kata Wawan.
Karena hari mulai sore, rombongan belum beruntung menangkap refleksi cahaya mengagumkan dari pancaran sinar matahari. Tapi mereka bisa berfoto mengabadikan lekukan indah stalaktit goa, fosil batu karang yang konon dulu berada di bawah lautan.
Durian Mentega dari Atas
Puas menikmati Goa Batu Cermin, perjalanan selanjutnya menuju Kawasan Puncak Waringin, Jalan Ande Bole. Ada peta penunjuk yang sudah rusak. Tulisannya : Welcome To Labuan Bajo Kawasan Puncak Waringin.
Wisatawan bisa menikmati pesona kapal-kapal sandar di tepian laut. Ada kapal speedboat hingga pinisi.
Sementara di situ juga, banyak pedagang durian menepi meramaikan ruas jalan. Durian mentega lezat berwarna kuning ranum . Seratus ribu dapat tiga. Durian itu hasil panen dari Desa Compang, Kecamatan Pacar. Daerah dataran tinggi.
Ambrosius Mon, seorang pemuda dari Desa Compang, menjajakan durian 'dari atas' jam 2 dini hari berangkat. Perjalanan dua jam. Tidak setiap hari. Hanya berjualan saat musim durian tiba.
Dagangannya langsung ludes. Saking lezat dan murahnya. Rasanya hampir mirip Durian Musang King. Tak jauh beda.
Puas makan durian, di seberang jalan ada Warung Hajenblick. Tempat minum nyaman bagi para turis. Kebanyakan dari mancanegara. Mereka bisa minum bir dan santai sembari merekam momen menuju senja. Sungguh eksotis.
Puas menikmati Puncak Waringin, rombongan Pokja Grahadi makan malam di Restoran Primarasa. Sambil menunaikan ibadah Shalat Magrib bagi muslim. Setelah itu menikmati santap makan malam lezat bersama sebelum bertolak ke Hotel Jayakarta. Hotel berbintang dengan pemandangan lepas pantai.
Dari balik jendela kamar, perbukitan hijau kembali menyapa. Pesona ini membuat Jayakarta kerap jadi pilihan para traveller.
Hari Kedua Perlu Fisik Prima
Bangun pagi dan sarapan, 28 November 2023. Rombongan dibawa menuju Dermaga di Desa Labuan Bajo. Gerbang utama menuju Taman Nasional Komodo. Awak speedboat telah menunggu. Ada dua unit. Rombongan berbagi tumpangan.
Ashabul Khafi, tour guide salah satu kapal yang kami tumpangi bercerita bahwa perjalanan ini akan menuju enam destinasi wisata.
Tujuan pertama adalah Pulau Padar. Turis asing menyebut Padar Island. Perjalan dari pelabuhan utama menuju ke sana memakan waktu sekitar satu setengah jam. Cuaca sangat bagus.
Setiba di sana, ingatan seorang kawan menyeruak pada pecahan uang seribu rupiah. Namanya Antok. "Ini pulau yang ada di mata uang kita," kata dia bangga.
Tapi, ada tantangan. Untuk merekam semua pemandangan indah secara leluasa, harus menaiki 818 anak tangga. Fisik musti prima. Kalau tidak kuat, lebih baik duduk menunggu di bawah. Ada penjual souvenir dan kelapa muda. Lokasinya dekat pos penjaga.
Tour guide, Wawan, Ashabul Khafi meminta rombongan cepat-cepat naik. Karena kawasan itu tutup pada jam 10.00 WITA. Sebabnya, matahari sudah tinggi. Sedangkan pulau begitu gersang tanpa tempat berteduh.
Beberapa anggota rombongan langsung melangkahkan kaki. Mereka sudah mendapatkan gambaran, bakal melewati lima pos pendakian. Setiap pos menyuguhkan pesona berbeda. Pos kelima adalah puncak memanjakan mata. Pemandangan tiga teluk terhampar begitu sakral menggoda kilatan kamera.
Jangan lupa membawa sunblock, sunscreen, topi, jaket dan air minum. Itu pesan tour guide. Namun ternyata, kegersangan dan pancaran surya yang menyengat itu justru menjadi daya tarik bagi para turis asing. Mereka enak saja tanpa pakai baju. Bahasa kerennya, tanning.
Pos pendakian lima seperti serpihan surga. Tiga teluk membentang. Latar belakang foto yang sungguh mengagumkan. Teluk itu masing-masing berwarna putih, pink dan hitam. Maka tak heran jika Pulau Padar masuk dalam situs warisan dunia UNESCO.
Pink Beach
Perjalanan speedboat berlanjut ke sebuah pantai. Namanya Pink Beach. Pantai pemilik pasir berwarna merah muda. Sungguh cantik. Kami berkhayal itu adalah serpihan pasir surgawi. Seolah masuk dalam fantasi negeri dongeng yang ternyata memang benar adanya di negeri tercinta, Indonesia.
Sejauh pandangan mata, ombak menepi bergulung lembut menyibak tepian. Kian mempesonakan sepanjang pantai berpasir merah muda.
Rupanya, warna 'gadis' ini berasal dari organisme kecil Foraminifera yang telah mati. Organisme itu berbentuk cangkang dan berasal dari kalsium karbonat. Ketika telah mati, cangkang mereka tercampur dengan pasir pantai serta menyatukan degradasi pink unik.
Wisatawan berenang di pinggir pantai saja, ada juga yang duduk-duduk di warung kopi. Jangan lupa bawa uang saku yang cukup, karena ternyata ngopi di tepi pantai gugusan kepulauan Labuan Bajo sungguhlah nikmat.
Sekitar satu jam, eksplor wisata berlanjut ke Taka Makassar. Sebuah pulau kecil berbentuk bulan sabit yang hanya muncul saat air laut surut. Pasirnya berwarna putih. Pemandangan masih sama indahnya. Banyak turis snorkeling, tapi harus di bawah pengawasan instruktur profesional karena arus bawah air laut cukup kuat.
Pantai ini akan 'tenggelam' saat hari menuju sore mengikuti waktu air laut pasang.
Tujuan terakhir dalam ekspedisi enam destinasi wisata ini adalah Pulau Komodo, Taman Nasional Komodo. Tempat habitat asli hewan purbakala yang masuk dalam jajaran warisan dunia.
Masuk ke sana, ditemani ranger. Tugasnya melindungi wisatawan dengan menghalau komodo yang kemungkinan melintas secara tiba-tiba. Hutan di Pulau Komodo dipenuhi habitat hewan buruan seperti babi hutan dan kelompok rusa. Pulau ini juga menyimpan eksotisme flora beragam. Kami menemukan asam Jawa, bakau, kayu sepang.
Dalam taman yang berjarak 500 meter dari pos utama, flora fauna liar merupakan pemandangan lazim. Di sana ada seekor komodo besar tua yang menjadi ikon berfoto. Komodo ini jinak karena sudah mendapat makan besar dari ranger.
Kalau mau yang lebih liar, terkadang komodo melintas di daerah warung-warung dekat pos. Maka tak heran, banyak ranger juga berjaga di sana. "Awas kaget, kalau tiba-tiba wajah komodo begitu santainya lewat meminta es kelapa muda," kata seorang kawan.
Orang-orang tertawa. Begitulah candaan yang sebenarnya cukup mengerikan ini. Tapi, bagi orang asli sana, komodo sudah seperti 'sahabat'. Kadang pula muncul di depan rumah.
Momen di Taman Nasional Komodo ini sangat istimewa. Karena berdasarkan historis, kawasan tersebut dinobatkan sebagai pemenang New 7 Wonders dengan suara terbanyak. Sementara pemenang lain adalah Hutan Amazon, Teluk Halong, Air Terjun Iguazu, Pulau Jeju, Sungai Bawah Tanah Puerto Princesa dan Table Mountain.
"Satu pesan kami, jika datang ke sana, belilah merchandise. Karena belum tentu ada di toko pusat oleh-oleh tengah kota. Seperti topi rimba berlogo Pulau Komodo, misalnya," kata Martudji, wartawan senior.
Demikianlah perjalanan indah dan sangat berharga, menyusuri pesona Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Dan hari ditutup dengan minum Kopi Flores Manggarai, Kopi Bajawa yang tersedia di cafe-cafe dekat Puncak Waringin.
Kala malam tiba, suasana Labuan Bajo sangat berbeda. Tak terlalu hingar bingar, namun begitu bersahabat. Tegukan kopi, ikan bakar hasil tangkapan nelayan, dan keramahan para pelaut serta pemuda-pemudi nya membuat siapa saja ingin kembali singgah untuk kesekian kalinya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menjelajahi Serpihan Nirwana, Dari Labuan Bajo Menuju Pulau Komodo
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Ronny Wicaksono |