https://bali.times.co.id/
Kopi TIMES

Boso Walikan: Citra Warga Malang

Sabtu, 30 September 2023 - 16:37
Boso Walikan: Citra Warga Malang Muhammad Wahyu Prasetyo Adi, Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik, Universitas Brawijaya.

TIMES BALI, MALANG – Bahasa merupakan isyarat utama manusia dalam melakukan interaksi dengan lawannya. Manusia dan bahasa tidak akan bisa dipisahkan. Ia adalah dua entitas yang saling melengkapi dalam rangka menjalin komunikasi. 

Bahasa sering dikaitkan dengan kondisi geografis suatu daerah. Sehingga kecenderungan memakai bahasa berkontribusi terhadap identitas yang melekat pada suatu masyarakat.

Penggunaan bahasa pada pola komunikasi dibedakan dengan beberapa jenis. Seperti bahasa isyarat yang biasa kita ketahui pada manusia itu dilahirkan ke dunia. 

Bayi sebagai pelopor bahasa isyarat berusaha merepresentasikan apa yang ada didalam pikiran, yang kemudian visualisasi melalui gerakan-gerakan. Atas lahirnya bahasa isyarat ini, lalu diadopsi dalam penggunaan bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas. 

Kemudian jenis bahasa yang kedua adalah bahasa lisan. Penggunaan bahasa lisan merupakan hasil dari mayoritas warga dalam mencapai kesepakatan tunggal. Lisan merupakan hasil visualisasi atas pemahaman seseorang dalam bentuk suara atau kata-kata. 

Dua jenis bahasa tersebut merupakan bahasa yang sering kita pahami secara mendasar dalam rangka menciptakan iklim komunikasi. Kemudian berkembang menjadi bahasa tulisan dan bahasa pemrograman.

Penggunaan bahasa secara umum tidak dapat dibatasi, mengikuti dengan tingginya kemajemukan etnis, suku, ras dan budaya. Di Indonesia sendiri, jumlah bahasa mencapai 718. Akumulasi tersebut menjadi orientasi terhadap dibentuknya bahasa nasional. 

Hal itu untuk memudahkan dalam bermobilitas dilingkungan kemajemukan. 
Dalam skala lokal. Keanekaragaman bahasa lebih berorientasi pada kebudayaan atau kultur masyarakat tertentu. 

Kesepakatan bahasa dalam lingkup daerah menjadi sarana utama untuk merepresentasikan bahwa subyek pengguna adalah warga asli daerah. Seperti yang terdapat di daerah Malang Raya. 

Malang merupakan daerah lokal yang secara mayoritas tergolong suku jawa. Bahasa yang dipergunakan dalam menunjang aktifitasnya juga dengan bahasa Jawa.

Penggunaan bahasa jawa dalam keseharian juga memiliki tingkatan, seperti kelas krama dan kelas ngoko. Dua perbedaan tersebut digunakan untuk mengedepankan nilai-nilai sopan santun dan tatakrama terhadap lawan bicara, yang pada umunya berorientasi pada kesesuaian usia atau kelas sosial.

Malang identik dengan suku jawa. Tetapi didalamnya terdapat bahasa yang cukup unik. Bahasa tersebut biasa dikenal boso walikan yang diartikan sebagai bahasa terbalik. Terbentuknya penggunaan boso walik-an merupakan hasil klausifitas dari fenomena sejarah kolonialisme. 

Secara singkat. Sejak agresi militer I dan II yang dilakukan oleh Belanda, telah menciptakan bahasa baru dilingkungan daerah Malang. Pola komunikasi yang sebelumnya menggunakan bahasa jawa, kemudian dimodifikasi dengan memutar arah kata-kata yang semestinya. 

Sejak massifnya londo ireng atau biasa dikenal penghianat bangsa yang notabenenya mencari informasi dilingkungan warga lokal menjadi dasar terciptanya boso walikan.

Ketika ditarik lagi secara filosofis, bahasa daerah Malang pada hakikatnya bahasa Jawa. Tetapi dalam situasi tertentu menyebabkan fenomena baru dalam menciptakan pembaharuan bahasa. Pola resistensi yang tercium dari lahirnya pembaruan bahasa relevan dengan teori yang dikeluarkan oleh Hassan Hanafi seorang Ilmuan dari Mesir.

Dinamika boso walikan merupakan hasil dari refleksi tradisi atas tiga sikap. Pertama, sikap atas tradisi lama yang secara umum kita ketahui bahwa bahasa jawa telah mengurai dengan luas dilingkungan kolonialisme. 

Bahkan sebagian kolonialisme mulai memahami sedikit-sedikit tentang bahasa umum yang digunakan. Pengetahuan dasar atas tradisi budaya jawa dengan penggunaan bahasa jawa menyiratkan pada tradisi yang original. 

Kedua, berkaitan dengan sikap masyarakat malang terhadap tradisi luar. Terma tersebut menganalogikan bahwa kondisi suatu pengetahuan umum penggunaan bahasa jawa membuat kolonialisme memutar arah dengan memperkerjakan orang-orang lokal sebagai intelejen dalam rangka mencari informasi terbaru terkait potensi yang akan dilakukan warga Malang terhadapnya. Pembaruan atas sikap yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda, merefleksikan sikap masyarakat terhadap realitas. 

Ketiga, merefleksikan bahwa pembaruan dalam metodologi gerilya menumpas agresi militer I dan II dengan cara yang lebih inovatif harus dilakukan. Pembaruan dalam skala mendasar terkait bahasa lokal menjadi ranah yang paling vital. 

Rendahnya intelektual londo ireng terkait penggunaan boso walikan membuat mereka terbatas dalam mendapatkan informasi yang lebih luas.

Pola-pola resistansi atau perlawanan sepihak atas eliminasi dari penguasa kolonialisme telah mereduksi bahasa baru. Boso walikan bukan sekedar bahasa. Ia memiliki kontribusi nyata dalam menumpas agresi I dan II oleh Belanda. 

Sejatinya, bahasa digunakan untuk mempermudah pemahaman. Termasuk perang pada kala itu. Maka sudah semestinya bahwa budaya boso walik-an menjadi citra warga Malang.

***

*) Oleh: Muhammad Wahyu Prasetyo Adi, Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik, Universitas Brawijaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bali just now

Welcome to TIMES Bali

TIMES Bali is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.