TIMES BALI, JAKARTA – “Bukan rahasia bila penguasa pun bisa merubah sejarah dan memutarbalikkan fakta.”
Kutipan lirik lagu Dewa 19 memberitahukan bahwa siapa yang berkuasa dialah yang akan mengendalikan sejarah. Hal itu yang terjadi pada masa Orde Baru (Orba). Di bawah kepemimpinan Soeharto. Sejarah dijadikan seragam, tak terkecuali dengan peristiwa G30S.
Di tengah kehidupan sosial politik yang senantiasa dinamis. Setiap tanggal 30 September kita diminta kembali mengingat dan mengenang sebuah peristiwa kelam. Sebuah tragedi kemanusiaan terbesar di negeri ini.
Sebagian daerah ada yang mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang, sebagai bentuk duka atas peristiwa yang tak kunjung jelas siapa sebenarnya yang bertanggung jawab di balik peristiwa yang dikenal G30S.
Sejarah versi Orba menjelaskan bahwa dalang di balik peristiwa berdarah itu adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Penjelasan ini dengan mudah ditemui dalam berbagai pelajaran sejarah di tingkat pendidikan mulai SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi.
Bahkan, untuk mengenang peristiwa itu, setiap tahun ditayangkan film G30S/PKI. Selama kurang lebih 32 tahun film ini menjadi memori kolektif masyarakat Indonesia bahwa PKI adalah aktor utama di balik peristiwa itu.
Ada beberapa istilah menyebut peristiwa ini. Pertama, Gestok atau Gerakan Satu Oktober atau Gestok yang diucapkan dalam pidato-pidato Soekarno. Alasannya, peristiwa ini terjadi dini hari 1 Oktober 1965.
Kedua, Gerakan September Tiga Puluh atau Gestapu. Sebutan ini digunakan pers militer AD. Meski istilah ini menyalahi kaidah bahasa Indonesia. Namun sengaja dipakai untuk mengasosiasikan dengan Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang kejam.
Ketiga, G30S/PKI, istilah ini dipakai oleh Orba tahun 1966 untuk menegaskan bahwa PKI adalah yang bersalah. Dipakainya istilah ini juga dibarengi dengan larangan terbit buku-buku versi lain di luar pemerintah.
Pasca lengsernya Soeharto dari Presiden, Mei 1998, berbagai tulisan sejarah G30S yang seragam menjadi beragam. Sejarah versi penguasa yang menyatakan bahwa PKI adalah dalang G30S menjadi diragukan kebenarannya setelah banyaknya buku-buku yang ditulis tokoh-tokoh kiri maupun peneliti dari luar.
Terdapat lima skenario berbeda yang dapat dicarikan dari berbagai risalah tentang peristiwa 1965.
Pertama, pembunuhan terhadap para jenderal dipercaya seluruhnya dan dilakukan oleh PKI dan simpatisannya. Kedua, percobaan kup itu adalah hasil dari pertarungan internal angkatan bersenjata.
Ketiga, Jenderal Soeharto adalah pelaku sebenarnya, atau paling tidak mempengaruhi, memanipulasi, dan mengaburkan pembunuhan para jenderal itu untuk kepentingannya sendiri. Keempat, Presiden Soekarno memberi izin atau menganjurkan para perwira yang terkucil untuk bertindak melawan kolega mereka sendiri yang disebut sebagai bagian dari ”Dewan Jenderal” rahasia.
Kelima, operasi intelijen Soekarno yang condong ke kiri, dari peranannya yang sangat berpengaruh di Indonesia dan negara-negara di Dunia.
Mengapa sampai terjadi beberapa versi sejarah? Sejarawan Prancis, Paul Veyne dalam buku Comment on ecrit I’historie (1971) menjelaskan bahwa Sejarah adalah penceritaan mengenai peristiwa, bukan peristiwa itu sendiri. Oleh karena itulah sejarah bersifat subyektif.
Sebuah peristiwa tidak dapat berdiri sendiri dan terisolasi. Peristiwa itu sendiri tidak dapat didapatkan oleh sejarawan secara langsung dan utuh. Ia selalu tidak lengkap dan hanya di permukaan dan perlu dilacak melalui jejak (evidence). Diperlukan dokumen dan kesaksian dan para pelaku.
Meski seseorang dapat menyaksikan suatu peristiwa dengan mata kepala sendiri, kejadian itu tetap tidak terliput secara keseluruhan. Itulah yang menjadikan sejarah muncul berbagai versi dalam sejarah.
Apa yang dilakukan dari versi yang beragam itu. Mengutip pendapat Asvi Warman Adam dalam Membongkar Manipulasi Sejarah (2009), tugas sejarawan kadangkala seperti dokter. Ia melakukan diagnosa dari berbagai versi yang ada. Artinya sejarawan membuat sintesa dari berbagai versi yang ada dan kemudian mengeluarkan pendapat.
***
*) Oleh : M Dalhar (Pegiat Sosial dan Ketua Forum Pemuda Pelestari Budaya dan Sejarah (FPPBS) Jepara)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |