TIMES BALI, BALI – Di tengah arus deras kehidupan modern yang serba cepat dan terkoneksi, tantangan datang dalam bentuk yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Setiap hari kita dibanjiri informasi dari media sosial, tuntutan pekerjaan yang tak ada habisnya, serta perbandingan hidup yang tanpa sadar membebani mental.
Dalam kondisi seperti ini, resiliensi atau kemampuan untuk bangkit kembali setelah menghadapi kesulitan bukan lagi sekadar keunggulan, melainkan sebuah keharusan. Membangun ketangguhan mental di era digital ini membutuhkan kesadaran dan strategi yang tepat, agar kita tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu berkembang.
Tentu, membangun resiliensi di era ini terasa lebih sulit. Dulu, kesulitan mungkin datang dalam bentuk masalah personal atau finansial, yang dampaknya terasa dalam ruang lingkup yang lebih kecil.
Kini, kesulitan bisa datang dari mana saja, kapan saja, dan dalam bentuk apa pun. Notifikasi email pekerjaan di tengah malam, komentar negatif di media sosial yang menggerogoti kepercayaan diri, atau kabar buruk dari belahan dunia lain yang memicu kecemasan kolektif, semuanya berkontribusi pada beban mental yang kita pikul.
Maka, langkah pertama untuk membangun resiliensi adalah dengan mengakui bahwa tantangan kita berbeda, dan kita butuh pendekatan yang disesuaikan.
Salah satu pilar utama resiliensi adalah kesadaran diri. Di tengah distraksi digital yang konstan, penting untuk meluangkan waktu sejenak dan bertanya pada diri sendiri: "Bagaimana perasaan saya hari ini?" dan "Apa yang benar-benar saya butuhkan saat ini?".
Meditasi, menulis jurnal, atau sekadar mematikan notifikasi selama 15 menit bisa menjadi langkah kecil yang sangat berarti. Dengan lebih mengenal emosi, kekuatan, dan kelemahan diri, kita menjadi lebih siap menghadapi ketidaknyamanan.
Kesadaran diri memungkinkan kita untuk mengenali saat kita mulai kewalahan, sehingga kita bisa mengambil tindakan preventif sebelum badai emosi benar-benar datang. Ini adalah pertahanan pertama kita di dunia yang selalu menuntut interaksi.
Pilar kedua adalah kemampuan beradaptasi. Di era yang perubahannya begitu cepat, kaku adalah resep menuju kehancuran. Kita harus mampu melihat kegagalan bukan sebagai akhir dari segalanya, tetapi sebagai titik awal untuk belajar.
Mungkin ada proyek pekerjaan yang gagal, hubungan yang berakhir, atau harapan yang tidak tercapai. Alih-alih meratapi nasib, orang yang tangguh secara mental akan bertanya: "Apa yang bisa saya pelajari dari pengalaman ini?" dan "Bagaimana saya bisa melakukan yang lebih baik di masa depan?". Adaptasi juga berarti fleksibel dalam berpikir.
Jika rencana A tidak berhasil, kita harus memiliki kesiapan untuk beralih ke rencana B. Terlalu terpaku pada satu jalur justru membuat kita rentan. Menerima bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana adalah salah satu kunci terpenting.
Selanjutnya, kita perlu membangun jaringan dukungan sosial yang kuat. Ironisnya, meskipun kita hidup di era yang "terkoneksi" secara digital, banyak dari kita justru merasa lebih kesepian.
Ratusan teman di media sosial tidak bisa menggantikan satu sahabat yang mau mendengarkan keluh kesah. Jalinan pertemanan yang tulus, hubungan dengan keluarga, dan komunitas yang mendukung adalah sumber energi yang tak ternilai.
Ini adalah tempat di mana kita bisa merasa diterima tanpa syarat, tempat untuk berbagi beban, dan tempat untuk menemukan perspektif baru. Ketika kesulitan datang, orang-orang terdekat inilah yang akan menjadi jangkar kita. Oleh karena itu, investasi dalam hubungan personal yang nyata, bukan sekadar digital, adalah fondasi penting dari resiliensi.
Tak kalah penting, adalah merawat diri. Resiliensi bukanlah tentang terus menerus mendorong diri hingga batas maksimal; justru sebaliknya. Ini tentang tahu kapan harus istirahat dan mengisi ulang energi. Tidur yang cukup, pola makan sehat, dan olahraga teratur adalah investasi pada kesehatan mental dan fisik yang tak boleh disepelekan.
Di dunia yang merayakan hustle culture, di mana bekerja 24/7 sering kali dianggap sebagai sebuah prestasi, kita harus berani mengambil jarak. Berani mengatakan "tidak" pada pekerjaan atau permintaan yang membebani, dan berani meluangkan waktu untuk hobi atau hal yang kita sukai, adalah bentuk resiliensi. Ini adalah cara kita menjaga api semangat tetap menyala, bukan membiarkannya padam.
Membangun resiliensi bukanlah sebuah proses yang instan. Ini adalah perjalanan yang membutuhkan komitmen, kesabaran, dan praktik berkelanjutan. Di era serba cepat dan terkoneksi ini, kita mungkin tidak bisa mengendalikan badai yang datang, tetapi kita bisa mengendalikan bagaimana kita menyiapkan diri.
Dengan memperkuat kesadaran diri, kemampuan beradaptasi, jaringan sosial, dan merawat diri, kita akan menemukan bahwa kita memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan. Kita tidak hanya akan bertahan, tetapi juga berkembang dan menemukan makna baru di setiap tantangan yang kita hadapi. (*)
***
*) Oleh : Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP N 1 Banjar Seririt Bali.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |