https://bali.times.co.id/
Opini

Keluar dari Jerat Toksis Media Sosial

Jumat, 08 Agustus 2025 - 08:26
Keluar dari Jerat Toksis Media Sosial Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP N 1 Banjar Seririt Bali.

TIMES BALI, BALI – Di era digital ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Berbagai platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook seolah menjadi etalase kehidupan sempurna yang diunggah oleh jutaan orang setiap harinya. 

Tanpa kita sadari, kebiasaan "scrolling" tanpa henti ini bisa menjebak kita dalam lingkaran perbandingan toksik yang merusak. Kita mulai membandingkan hidup kita yang "biasa saja" dengan "highlight reel" orang lain yang penuh kesuksesan, kebahagiaan, dan kemewahan. Padahal, di balik layar yang gemerlap itu, seringkali ada kisah yang jauh berbeda.

Perbandingan toksik ini bagaikan racun yang perlahan menggerogoti kesehatan mental kita. Awalnya, mungkin hanya rasa iri biasa saat melihat teman berlibur ke luar negeri atau membeli barang mewah. Namun, seiring waktu, perasaan itu bisa berkembang menjadi kecemasan, rasa tidak percaya diri, dan bahkan depresi. 

Kita mulai mempertanyakan nilai diri sendiri dan merasa hidup kita tidak sebanding dengan pencapaian orang lain. Ironisnya, semakin kita merasa tidak bahagia, semakin kita mencari pelarian di media sosial, dan lingkaran setan ini terus berputar.

Lalu, bagaimana kita bisa keluar dari jerat perbandingan toksik ini? Langkah pertama adalah menyadari bahwa apa yang kita lihat di media sosial bukanlah keseluruhan cerita. Unggahan yang kita lihat hanyalah sebagian kecil dari kehidupan seseorang, biasanya momen-momen terbaik yang sengaja mereka pilih untuk dibagikan. 

Di balik senyum cerah di foto, mungkin ada perjuangan, kegagalan, dan kesedihan yang tidak pernah mereka tampilkan. Memahami konsep ini sangat penting untuk membangun perspektif yang lebih sehat. Ingatlah bahwa media sosial adalah panggung, bukan cermin kehidupan nyata.

Langkah kedua adalah mulai membatasi waktu kita di media sosial. Tidak perlu langsung menghapus semua akun, tetapi coba tetapkan batasan yang jelas. 

Misalnya, tentukan waktu-waktu tertentu untuk memeriksa media sosial, atau matikan notifikasi yang tidak perlu. Dengan mengurangi frekuensi "scrolling", kita memberi ruang bagi diri kita untuk fokus pada kehidupan nyata.

Gunakan waktu yang tadinya dihabiskan untuk berselancar di dunia maya untuk melakukan hal-hal yang benar-benar kita nikmati, seperti membaca buku, berolahraga, atau berkumpul dengan orang-orang terkasih secara langsung.

Selain itu, penting untuk mulai mengubah cara kita berinteraksi dengan media sosial. Alih-alih hanya menjadi penonton pasif yang terus membandingkan, jadikan media sosial sebagai alat untuk inspirasi dan koneksi yang positif. 

Ikuti akun-akun yang benar-benar memotivasi Anda, mengedukasi, atau membuat Anda merasa senang. Hindari akun-akun yang justru memicu perasaan tidak aman atau iri hati. 

Jangan ragu untuk "unfollow" atau "mute" akun-akun yang tidak memberikan dampak positif bagi kesehatan mental Anda. Lingkungan digital Anda harus mendukung kesejahteraan, bukan malah merusaknya.

Yang tak kalah penting adalah mempraktikkan gratitude atau rasa syukur. Fokus pada apa yang sudah kita miliki, bukan pada apa yang belum kita punya.

Setiap hari, luangkan waktu sejenak untuk memikirkan hal-hal kecil yang membuat hidup Anda berarti: keluarga, teman, kesehatan, atau bahkan secangkir kopi hangat di pagi hari. 

Dengan melatih rasa syukur, kita akan lebih mudah menghargai perjalanan hidup kita sendiri tanpa terus-menerus membandingkannya dengan perjalanan orang lain.

Terakhir, mulailah berinvestasi pada diri sendiri di dunia nyata. Ikuti kursus yang Anda minati, pelajari keterampilan baru, atau kejar hobi yang selama ini tertunda. 

Ketika kita sibuk membangun diri dan mengejar tujuan pribadi, kita tidak punya waktu untuk terus menerus melihat ke belakang dan membandingkan. Fokus kita akan beralih dari apa yang orang lain lakukan menjadi apa yang bisa kita capai.

Kunci untuk keluar dari jerat perbandingan toksik adalah menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak ditemukan dalam jumlah "likes" atau kesempurnaan yang dipamerkan di layar. 

Kebahagiaan sejati terletak pada penerimaan diri, menghargai setiap langkah perjalanan, dan membangun kehidupan yang autentik dan bermakna. Jadi, mari kita beranikan diri untuk "stop scrolling, start living." 

Saatnya kita menutup aplikasi, mengangkat kepala, dan kembali menikmati keindahan dunia nyata yang ada di sekitar kita. Karena hidup terlalu berharga untuk terus menerus dihabiskan di bawah bayang-bayang kehidupan orang lain. (*)

***

*) Oleh : Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP N 1 Banjar Seririt Bali.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bali just now

Welcome to TIMES Bali

TIMES Bali is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.