https://bali.times.co.id/
Opini

Soeharto, Kepahlawanan yang Diperdebatkan

Jumat, 07 November 2025 - 17:33
Soeharto, Kepahlawanan yang Diperdebatkan Saiful Bahri, M. Pd., Praktisi Pendidikan Guru MA Unggulan Cahaya Cendekia, Jimbaran, Badung, Bali.

TIMES BALI, BALI – Setiap bulan November, bangsa ini seolah diingatkan pada satu kata yang selalu kita muliakan: pahlawan. Kita sebut mereka dengan hormat, kita kenang jasanya, kita kirim doa dari monumen dan upacara. Tapi, seperti selalu terjadi, makna “pahlawan” itu tak pernah sederhana. Ia hidup di antara pujian dan luka, antara sejarah dan amnesia.

Tahun ini, perbincangan tentang kepahlawanan terasa getir. Nama Soeharto penguasa yang memimpin Indonesia lebih dari tiga dasawarsa  kembali diusulkan untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. 

Sekilas, usulan itu terdengar sebagai bentuk penghormatan. Tapi di banyak hati, ia justru membangkitkan getir lama. Ada sesuatu yang terasa janggal, seperti ada luka yang disentuh tanpa permisi.

Penolakan segera muncul. Dari aktivis HAM, keluarga korban, hingga masyarakat sipil yang pernah bersuara di jalanan. Ini bukan sekadar penolakan politis, melainkan peringatan moral: jangan memutihkan sejarah dengan dalih “pembangunan”.

Soeharto adalah paradoks yang hidup di tubuh bangsa ini. Ia disebut Bapak Pembangunan-benar, banyak yang mengakui jasanya dalam menata ekonomi, membangun infrastruktur, menciptakan stabilitas di masa sulit. Tapi di balik jalan raya dan gedung tinggi, ada jejak yang jauh lebih sunyi: darah, penjara, dan suara yang dibungkam.

Pasca-1965, sejarah Indonesia tidak hanya menulis pembangunan, tapi juga pembantaian. Ratusan ribu nyawa hilang, ribuan lainnya hidup dalam stigma dan ketakutan. 

Di Timur-timur, di Tanjung Priok, di Talangsari, di malam-malam Reformasi 1998  negara hadir bukan untuk melindungi, tapi untuk membungkam. Semua itu terjadi di bawah bayangan kekuasaan yang terlalu lama, terlalu kuat.

Lalu kini, ketika sebagian orang mengusulkan gelar pahlawan atas nama “jasa pembangunan,” pertanyaannya sederhana: apakah jalan tol dan sawah swasembada bisa menebus air mata manusia? Apakah pertumbuhan ekonomi bisa menghapus rasa takut yang diwariskan berpuluh tahun?

Koalisi masyarakat sipil menyebutnya dengan istilah keras: pemutihan sejarah.

Dan mungkin mereka benar. Karena memberi gelar pahlawan pada penguasa otoriter bukan sekadar kesalahan administratif, tapi kemunduran moral. 

Itu seperti menulis ulang sejarah dengan tinta yang sudah kehilangan warnanya.

Bagaimana kita bisa menatap wajah para korban dan berkata, “Lupakan, itu sudah masa lalu”?

Bagaimana menjelaskan pada generasi muda bahwa demokrasi yang mereka nikmati sekarang lahir dari keberanian melawan kekuasaan yang kini hendak kita beri penghargaan?

Gelar pahlawan seharusnya lahir dari keberanian menanggung risiko demi kebenaran, bukan dari keberhasilan membungkam perbedaan. Pahlawan sejati adalah mereka yang rela kehilangan segalanya untuk keadilan, bukan mereka yang menjaga kekuasaan dengan ketakutan.

Para pembela usulan ini sering berkata: “Soeharto berjasa besar. Tanpa dia, Indonesia mungkin tak akan stabil.” Tapi logika semacam ini berbahaya. Karena kalau pembangunan bisa dijadikan alasan untuk menutup pelanggaran, maka apa yang membedakan pahlawan dari penguasa? Apakah cukup membangun gedung, agar kita lupa pada penjara?

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menulis dengan jelas: penerima gelar pahlawan harus memiliki kelakuan baik dan menjadi teladan. Ini bukan sekadar syarat administratif. Ini pagar etika, agar gelar pahlawan tidak berubah menjadi legitimasi moral untuk kejahatan masa lalu.

Kita pun tahu, Ketetapan MPR Nomor XI Tahun 1998 justru menyebut Soeharto sebagai pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban atas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Artinya, sejarah belum selesai. Belum tuntas. Belum bersih.

Apakah negara boleh menobatkan seseorang sebagai pahlawan sementara luka dan pertanggungjawabannya belum dituntaskan? Keadilan bukan dendam. Tapi keadilan juga bukan amnesia.

Bangsa yang sehat tidak melupakan masa lalunya. Ia menatapnya dengan jujur, sepedih apa pun. Sebab hanya dengan itu ia bisa belajar untuk tidak jatuh di lubang yang sama.

Saya sering berpikir: bagaimana rasanya menjadi keluarga mereka yang hilang di tahun-tahun gelap itu? Mereka yang diculik dan tak pernah kembali, mereka yang namanya hanya tinggal di spanduk, atau di pojok arsip yang berdebu? Ketika nama Soeharto disebut lagi di berita bukan sebagai tersangka sejarah, tapi sebagai calon pahlawan mungkin dada mereka kembali sesak.

Bagi mereka, ini bukan soal politik, tapi soal kebenaran. Mereka tidak menuntut balas. Mereka hanya ingin negara mengakui bahwa yang terjadi memang terjadi. Bahwa luka mereka bukan kebohongan. Bahwa sejarah tidak bisa dibersihkan dengan penghargaan.

Dan mungkin, di sinilah letak kebesaran sebuah bangsa-bukan pada keberaniannya memberi gelar, tetapi pada keberaniannya menghadapi kebenaran.

Kita ini mau jadi bangsa yang lupa atau bangsa yang jujur? Sebab apa yang kita putuskan hari ini akan diwariskan sebagai kebenaran esok. Jika kita menobatkan Soeharto sebagai pahlawan, anak-anak kita akan tumbuh dengan narasi bahwa kekuasaan yang menindas bisa dimaafkan demi pembangunan. 

Jika kita berani menolak, itu bukan karena benci, melainkan karena cinta-cinta kepada kebenaran, kepada keadilan, kepada nurani bangsa ini sendiri.

Menolak Soeharto bukan berarti menolak jasanya. Itu cara kita menjaga keseimbangan moral: mengakui yang baik tanpa menutupi yang buruk. Karena mengakui jasa tak berarti menghapus dosa.

Bangsa ini tidak kekurangan pahlawan. Kita hanya sering lupa pada mereka yang tak punya panggung: ibu-ibu yang kehilangan anak, mahasiswa yang gugur di jembatan, petani yang melawan ketidakadilan, wartawan yang tetap menulis meski diancam senjata. Mereka tak punya gedung, tapi mereka punya hati.

Soeharto adalah bagian dari sejarah, iya. Tapi sejarah itu tidak perlu dibersihkan untuk diingat. Cukup kita letakkan apa adanya dengan segala keberhasilan dan kejatuhannya.

Dan sebelum memberi gelar apa pun, mungkin kita perlu bertanya dalam hati: Apakah kita sedang menghormati sejarah, atau justru sedang mengingkarinya?

***

*) Oleh : Saiful Bahri, M. Pd., Praktisi Pendidikan Guru MA Unggulan Cahaya Cendekia, Jimbaran, Badung, Bali.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bali just now

Welcome to TIMES Bali

TIMES Bali is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.