TIMES BALI, BALI – Idul Adha, hari raya pengorbanan, kembali menjelang. Lebih dari sekadar penyembelihan hewan kurban, momen ini adalah cerminan agung dari nilai-nilai keikhlasan, ketulusan, dan ketaatan yang luar biasa.
Di balik setiap tetes darah kurban, tersembunyi pelajaran berharga yang dapat kita jadikan fondasi dalam menempa karakter unggul, khususnya bagi generasi muda yang akan menjadi generasi emas bangsa.
Kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS, adalah inti dari perayaan Idul Adha. Kisah ini bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan sebuah teladan abadi tentang kepatuhan total kepada perintah Ilahi, bahkan ketika perintah itu terasa begitu berat.
Ibrahim diuji untuk mengurbankan putranya yang paling dicintai, sebuah ujian yang secara manusiawi sangat sulit diterima. Namun, dengan keimanan yang teguh dan keikhlasan yang tulus, ia bersedia melaksanakannya. Pada akhirnya, Allah SWT mengganti Ismail dengan seekor domba.
Dari kisah monumental ini, kita bisa menarik benang merah untuk membentuk karakter yang kokoh: Pertama adalah keikhlasan. Ibrahim dan Ismail menunjukkan keikhlasan tanpa batas. Mereka tidak mempertanyakan, tidak mengeluh, dan tidak mencari jalan pintas.
Dalam konteks kehidupan modern, keikhlasan berarti melakukan sesuatu tanpa mengharapkan balasan, semata-mata karena keyakinan akan kebaikan dan kebenaran.
Ini penting untuk menumbuhkan pribadi yang tulus dalam beribadah, bekerja, dan berinteraksi sosial. Generasi yang ikhlas akan terhindar dari sifat riya' dan pamer, fokus pada esensi perbuatan baik daripada pujian manusia.
Kedua, ketaatan dan kepatuhan. Ibrahim dan Ismail adalah simbol ketaatan mutlak kepada perintah Tuhan. Ketaatan ini bukan berarti buta, melainkan didasari oleh keyakinan akan kebenaran dan kebijaksanaan yang lebih besar.
Dalam kehidupan sehari-hari, ketaatan ini diterjemahkan menjadi kepatuhan pada aturan, norma, dan hukum yang berlaku, baik dalam keluarga, sekolah, masyarakat, maupun negara. Generasi yang patuh akan menciptakan tatanan sosial yang harmonis dan teratur, menghindari perilaku yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Selanjutnya adalah kesabaran dan ketabahan. Proses pengorbanan yang dialami Ibrahim dan Ismail tentu dipenuhi dengan rasa haru, cemas, dan berbagai perasaan berat lainnya. Namun, mereka menghadapinya dengan sabar dan tabah.
Kesabaran adalah kunci untuk menghadapi tantangan dan kesulitan hidup. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, kemampuan untuk bersabar dan tabah akan membentuk pribadi yang tidak mudah menyerah, gigih dalam mencapai tujuan, dan mampu bangkit dari kegagalan.
Tak kalah penting adalah kepedulian sosial dan berbagi. Esensi kurban adalah berbagi daging kurban kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan. Ini menumbuhkan rasa empati dan kepedulian terhadap sesama.
Pendidikan karakter melalui Idul Adha harus menekankan pentingnya berbagi, tidak hanya harta benda tetapi juga waktu, tenaga, dan ilmu. Generasi yang peduli akan menjadi agen perubahan positif di masyarakat, berani berkorban untuk kepentingan bersama, dan tidak hanya fokus pada diri sendiri.
Mewujudkan generasi emas yang berkarakter unggul bukan hanya tanggung jawab keluarga atau sekolah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Perayaan Idul Adha harus dimaknai lebih dalam, bukan hanya sebagai ritual tahunan, tetapi sebagai momentum pendidikan karakter yang berkelanjutan.
Para pendidik dapat menggunakan kisah Idul Adha sebagai materi pengajaran yang inspiratif. Orang tua dapat menanamkan nilai-nilai keikhlasan dan pengorbanan dalam keseharian anak-anak. Masyarakat bisa mengadakan kegiatan sosial yang menumbuhkan semangat berbagi dan kepedulian.
Dengan meneladani nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Idul Adha-keikhlasan, ketaatan, kesabaran, dan kepedulian sosial kita sesungguhnya sedang berinvestasi pada masa depan bangsa.
Kita sedang menempa individu-individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kaya akan budi pekerti, berjiwa mulia, dan siap menjadi pemimpin masa depan. Merekalah generasi emas yang akan membawa Indonesia menuju kemajuan dan kesejahteraan yang hakiki.
***
*) Oleh : Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP N 1 Banjar Seririt Bali.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |