TIMES BALI, BALI – Pepatah kuno "No Pain, No Gain" telah menjadi mantra universal yang membakar semangat jutaan orang dari berbagai generasi. Secara harfiah, frasa ini mengajarkan bahwa tidak ada pencapaian besar yang dapat diraih tanpa pengorbanan, kerja keras, dan menghadapi kesulitan.
Dari atlet yang berjam-jam berlatih hingga seorang pengusaha yang merintis bisnis dari nol, filosofi ini seakan menjadi cetak biru menuju kesuksesan. Namun, di era kini, ketika segala sesuatu serba instan dan "hustle culture" merajalela, makna "No Pain, No Gain" perlu diinterpretasi ulang agar tidak terjebak dalam romantisme penderitaan yang justru kontraproduktif.
Pada dasarnya, esensi "No Pain, No Gain" tetap relevan. Kesuksesan memang bukan hadiah yang jatuh dari langit. Ia adalah hasil dari proses, ketekunan, dan kemauan untuk melewati zona nyaman. Rasa "sakit" dalam konteks ini tidak selalu berarti penderitaan fisik atau mental yang ekstrem.
Ia bisa jadi adalah rasa lelah setelah menyelesaikan sebuah proyek, rasa frustasi saat menemui kegagalan, atau bahkan ketidaknyamanan saat belajar hal baru. "Rasa sakit" ini adalah sinyal bahwa kita sedang mendorong batas diri, membangun ketahanan, dan mengasah kompetensi.
Tanpa melewati fase ini, pertumbuhan pribadi dan profesional mustahil terjadi. Seperti tubuh yang membangun otot setelah merobeknya melalui latihan, begitu pula pikiran dan karakter kita yang tumbuh setelah menghadapi tantangan.
Namun, era modern membawa tantangan baru yang menuntut kita untuk lebih bijak dalam menerapkan prinsip ini. Budaya kerja yang serba cepat seringkali menafsirkan "No Pain, No Gain" sebagai kewajiban untuk bekerja tanpa henti, mengabaikan jam istirahat, dan bahkan mengorbankan kesehatan demi mengejar target.
Fenomena ini, yang dikenal sebagai "hustle culture," meromantisasi kelelahan dan burnout. Di bawah slogan "bekerja keras, berpesta nanti," banyak profesional muda terperangkap dalam lingkaran setan di mana produktivitas diukur dari jumlah jam kerja, bukan dari kualitas hasil.
Akibatnya, alih-alih mencapai kesuksesan, mereka justru mengalami kelelahan mental, kecemasan, dan hilangnya keseimbangan hidup.
Maka, memaknai "No Pain, No Gain" di era kini harus bergeser dari glorifikasi penderitaan menjadi sebuah pendekatan yang lebih seimbang dan cerdas. "Pain" seharusnya tidak identik dengan penderitaan yang tak berujung, melainkan ketidaknyamanan yang disengaja dan terukur.
Ini berarti kita harus belajar membedakan antara "pain" yang konstruktif (seperti belajar dari kesalahan atau beradaptasi dengan perubahan) dan "pain" yang merusak (seperti bekerja berlebihan hingga kehabisan energi atau mengabaikan sinyal bahaya dari tubuh). Kesuksesan berkelanjutan tidak dapat dibangun di atas fondasi yang rapuh akibat kesehatan fisik dan mental yang terabaikan.
Di ranah pengembangan diri, prinsip ini mengajarkan pentingnya disiplin dan komitmen. "Pain" di sini adalah perjuangan melawan kemalasan, menunda kesenangan instan, dan konsisten dalam proses.
Di era di mana informasi begitu mudah didapat dan hiburan instan tersedia, "gain" sesungguhnya adalah kemampuan untuk fokus, menyelesaikan tugas yang sulit, dan terus belajar.
Ini adalah "pain" yang diperlukan untuk menguasai keterampilan baru, membangun portofolio yang kuat, atau bahkan sekadar menjaga kebugaran fisik.
Lantas, bagaimana kita menavigasi prinsip ini di tengah lautan informasi dan tuntutan yang tiada henti? Kuncinya adalah mindful effort atau usaha yang penuh kesadaran. Alih-alih hanya berfokus pada hasil akhir, kita perlu menghargai dan belajar dari setiap langkah yang diambil.
Jika kegagalan datang, jangan anggap itu sebagai akhir, melainkan sebagai "pain" yang mengajari kita pelajaran berharga. Jika kita merasa lelah, berikan tubuh dan pikiran kita waktu untuk pulih, karena istirahat adalah bagian integral dari proses "gain".
Dengan demikian, "No Pain, No Gain" tidak lagi sekadar jargon yang memotivasi, tetapi sebuah pedoman hidup yang mengajarkan keseimbangan, ketahanan, dan kebijaksanaan dalam mengejar ambisi.
Sukses yang sejati, di era mana pun, adalah perpaduan antara kerja keras dan kecerdasan, bukan hanya seberapa banyak kita menderita, tetapi seberapa cerdas kita menghadapi kesulitan untuk tumbuh dan berkembang.
***
*) Oleh : Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP N 1 Banjar Seririt Bali.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |