https://bali.times.co.id/
Opini

Denyut Literasi Pesantren

Sabtu, 04 Oktober 2025 - 21:38
Denyut Literasi Pesantren Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP N 1 Banjar Seririt Bali.

TIMES BALI, BALI – Sejak lama, pondok pesantren di Indonesia bukan hanya dikenal sebagai lembaga pendidikan agama yang mendalam, tetapi juga sebagai pusat tradisi literasi yang tak pernah padam. Jauh sebelum era gerakan literasi modern digaungkan, pesantren telah mempraktikkan budaya membaca, mengkaji, dan menulis sebagai inti dari proses pembelajaran. 

Denyut literasi dari pesantren ini berakar kuat dari wahyu pertama Al-Qur'an, “Iqra” (Bacalah), yang menempatkan membaca sebagai gerbang menuju ilmu pengetahuan dan pengenalan terhadap Sang Pencipta. 

Santri sebutan bagi pelajar di pesantren dididik untuk tidak hanya membaca ayat-ayat qauliyah (wahyu), tetapi juga ayat-ayat kauniyah (alam semesta), membentuk kerangka berpikir yang holistik dan kritis.

Pilar utama yang menopang tradisi literasi di pesantren adalah keberadaan Kitab Kuning. Kitab-kitab klasik berbahasa Arab atau Arab Pegon (aksara Arab dengan bahasa lokal) ini merupakan khazanah ilmu pengetahuan Islam dari berbagai disiplin, mulai dari fikih, tafsir, hadis, tasawuf, hingga tata bahasa Arab (nahwu-sharaf). 

Tradisi literasi santri terinternalisasi melalui metode pembelajaran khas, seperti bandongan (kiai membaca dan menerjemahkan, santri mendengarkan dan memaknai) dan sorogan (santri membaca di hadapan kiai untuk diperbaiki).

Aktivitas memaknai Kitab Kuning ini mewajibkan santri untuk mencatat, membuat syarah (penjelasan), atau hasyiyah (catatan pinggir) pada setiap baris kalimat. Proses inilah yang secara simultan melatih keterampilan membaca cepat, pemahaman kontekstual, dan kemampuan menulis ringkas sebuah fondasi literasi tingkat tinggi. 

Kualitas ulama-ulama Nusantara di masa lalu, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Mahfuzh at-Tarmasi yang produktif menghasilkan karya-karya besar dan menjadi rujukan ulama dunia, adalah bukti nyata betapa suburnya tradisi tulis-menulis di lingkungan pesantren. Pesantren, dengan demikian, telah menjadi "penangkaran" intelektual yang melahirkan penulis dan pemikir andal.

Di era modern, pesantren tidak tinggal diam. Ia bertransformasi dan beradaptasi tanpa meninggalkan nilai-nilai dasarnya. Budaya literasi tradisional diperkaya dengan dimensi kontemporer, seperti literasi digital, literasi media, dan literasi sains. 

Banyak pesantren kini mengintegrasikan program menulis kreatif, jurnalistik, dan karya ilmiah ke dalam kurikulumnya. Mereka mendirikan komunitas penulis, menerbitkan buletin atau majalah, bahkan mewajibkan santri untuk menghasilkan karya tulis berupa buku sebelum lulus.

Hal ini menjadi penting mengingat tantangan disinformasi di era digital. Santri kini tidak hanya dituntut mampu mengkaji teks-teks klasik, tetapi juga harus melek informasi dan kritis dalam menyaring berita yang beredar di dunia maya. 

Pesantren membekali santrinya dengan kemampuan untuk menjadi agen literasi dan moderasi beragama, di mana pengetahuan yang mereka miliki disebarkan melalui berbagai platform digital, mulai dari blog, media sosial, hingga kanal YouTube. Mereka memanfaatkan teknologi untuk berdakwah, melestarikan sejarah pesantren, dan memperkenalkan nilai-nilai Islam yang ramah.

Lebih dari sekadar benteng keilmuan, denyut literasi dari pesantren memberikan kontribusi signifikan bagi perkembangan literasi nasional. Lulusan pesantren (alumni) yang dikenal sebagai santri literat seringkali menjadi inisiator dalam gerakan peningkatan minat baca dan tulis di tengah masyarakat. 

Mereka mendirikan taman baca, menjadi guru, penulis, jurnalis, hingga politisi yang membawa semangat keilmuan dan akhlakul karimah (budi pekerti luhur) ke ranah publik.

Pesantren membuktikan bahwa literasi bukanlah sekadar kemampuan teknis membaca dan menulis, melainkan sebuah komitmen moral dan intelektual untuk terus belajar, berkarya, dan menyebarkan kebaikan. Dari bilik-bilik asrama sederhana, dari balai-balai pengajian yang dipenuhi coretan makna, lahirlah generasi yang siap menjadi pembaharu dan pencerah. 

Mereka adalah bukti hidup bahwa tradisi kuno dapat berdialog harmonis dengan kemajuan zaman, menjadikan pesantren sebagai sumber inspirasi tak terbatas bagi upaya membangun masyarakat Indonesia yang cerdas, berbudaya, dan berakhlak mulia. Denyut literasi ini akan terus mengalir, menjadi darah segar yang menghidupkan semangat intelektual bangsa.

Tantangan terbesar kita bukanlah memilih salah satu, melainkan bagaimana memastikan bahwa setiap generasi muda, baik yang diasah dalam kesahajaan pesantren maupun yang dibesarkan di bangku sekolah umum, sama-sama mewarisi semangat Iqra. 

Hanya dengan kolaborasi dan penguatan di setiap lini pendidikan, denyut literasi di seluruh penjuru negeri akan menguat, menciptakan masa depan Indonesia yang cerdas dan berkarakter.

 

***

*) Oleh : Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP N 1 Banjar Seririt Bali.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bali just now

Welcome to TIMES Bali

TIMES Bali is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.