TIMES BALI, BALI – Sekolah kerap dipuja sebagai fondasi peradaban, tempat masa depan disemai dan harapan dititipkan. Gedungnya berdiri rapi, kurikulumnya terus diperbarui, teknologinya makin canggih. Namun di balik semua kemajuan itu, ada sesuatu yang diam-diam menguap: makna. Pendidikan berjalan, tetapi jiwa perlahan tertinggal di belakang.
Hari ini, sekolah lebih sibuk menghitung daripada memahami. Lebih tekun mengukur daripada mendidik. Angka-angka di rapor menjelma menjadi matahari kecil yang mengatur orbit segalanya: cara guru mengajar, cara siswa belajar, bahkan cara orang tua mencintai anaknya.
Pertanyaan yang dulu sederhana “apa yang kamu pelajari hari ini?” bergeser menjadi “dapat nilai berapa?”. Dari sinilah krisis itu berangkat, bukan krisis bangunan atau anggaran, melainkan krisis cara pandang tentang apa arti pendidikan.
Sistem pendidikan modern bekerja seperti pabrik dengan target produksi. Ada standar, indikator, grafik, dan laporan capaian. Semua harus terukur, seolah kebenaran hanya sah jika bisa diringkas dalam angka. Padahal manusia tidak pernah sesederhana tabel statistik.
Ketika nilai dijadikan tolok ukur utama kecerdasan, sekolah sedang menyempitkan makna “pintar” menjadi sekadar kemampuan menjawab soal. Mereka yang cepat menghafal dan luwes memilih jawaban dianggap unggul, sementara yang berpikir pelan, reflektif, dan kritis sering terpinggirkan. Ironisnya, kehidupan nyata jarang memberi soal pilihan ganda.
Obsesi pada nilai melahirkan ilusi keberhasilan. Banyak yang tampak gemilang di atas kertas, tetapi rapuh saat berhadapan dengan kegagalan, konflik, dan dilema moral. Sekolah berhasil melatih anak menaklukkan ujian, tetapi sering gagal membekali mereka untuk menaklukkan diri sendiri. Kita mencetak lulusan dengan kepala penuh teori, namun hati dan kompas moralnya dibiarkan mencari arah sendirian.
Dampak samping dari sistem ini sering luput disadari. Budaya menyontek tumbuh subur bukan semata karena kemalasan, tetapi karena pesan yang diam-diam ditanamkan: nilai lebih penting daripada kejujuran.
Plagiarisme dianggap kecerdikan, manipulasi dianggap strategi bertahan. Yang penting lulus, bukan lurus. Yang penting aman, bukan benar. Dalam ruang kelas semacam ini, pendidikan berubah menjadi seni menyiasati sistem.
Sekolah pun menjelma arena kompetisi yang melelahkan. Siswa belajar membaca selera guru, menebak arah soal, dan menghafal pola jawaban. Bertanya terlalu kritis dianggap mengganggu, berpikir berbeda dianggap berisiko. Ruang kelas kehilangan denyut dialog, berganti dengan ketegangan sunyi yang dipenuhi ketakutan akan salah. Padahal dari kesalahanlah manusia belajar menjadi dewasa.
Rapor, yang seharusnya menjadi cermin refleksi, berubah menjadi palu vonis. Ia menentukan harga diri anak, kebanggaan keluarga, bahkan arah masa depan. Padahal tak satu pun angka mampu menjelaskan apakah seseorang memiliki empati, keberanian, atau integritas. Tidak ada kolom di rapor yang mencatat kejujuran ketika tak diawasi, atau keteguhan ketika harus memilih yang benar meski tak populer.
Krisis terbesar pendidikan hari ini bukan rendahnya skor, melainkan hilangnya sentuhan manusia. Sekolah terlalu sibuk mengisi kepala, tetapi lupa merawat jiwa. Jadwal padat, tugas menumpuk, target berlapis, sementara ruang untuk merenung nyaris nihil.
Anak-anak tumbuh dalam sistem yang jarang memberi mereka hak untuk gagal dengan aman. Kesalahan selalu dibalas sanksi, bukan pemahaman. Akibatnya, banyak yang belajar menyembunyikan kelemahan, bukan mengatasinya.
Tekanan datang dari segala arah. Orang tua, sering kali dengan niat baik, menjadikan nilai sebagai ukuran kasih sayang dan keberhasilan pengasuhan. Sekolah mengejar prestasi demi citra institusi. Negara mengejar angka demi laporan kebijakan. Di tengah hiruk-pikuk itu, suara siswa tenggelam. Mereka menjadi objek evaluasi, bukan subjek pembelajaran.
Pendidikan karakter kerap digaungkan, tetapi jarang dihidupi. Moral diajarkan lewat definisi, bukan teladan. Kejujuran diuji di kertas ujian, tetapi diabaikan dalam praktik sistemik. Anak diminta disiplin, sementara birokrasi pendidikan sendiri sering berbelit dan tidak transparan. Dari sini lahir paradoks: generasi yang tahu banyak, tetapi tak mengenal dirinya sendiri. Terlatih patuh pada aturan, namun gagap mengambil sikap.
Pendidikan pun kehilangan arah humanistiknya. Ia tak lagi membebaskan, melainkan menyesuaikan. Kreativitas dianggap menyimpang, perbedaan dianggap gangguan. Padahal tujuan pendidikan bukan mencetak manusia sempurna, melainkan manusia sadar sadar akan dirinya, lingkungannya, dan tanggung jawab moralnya.
Mengembalikan makna pendidikan tak cukup dengan mengganti kurikulum. Ia menuntut keberanian untuk menggeser orientasi. Nilai memang penting, tetapi bukan segalanya. Tidak semua yang bernilai bisa dinilai.
Pendidikan yang sehat memberi ruang bagi proses, dialog, dan refleksi. Guru diberi kepercayaan untuk mendidik, bukan sekadar mengadministrasi target. Siswa diperlakukan sebagai manusia utuh, bukan sekadar angka berjalan.
Jika sekolah terus menomorsatukan nilai rapor dan mengabaikan nilai hidup, kita bukan sedang membangun masa depan, melainkan menumpuk krisis yang kelak meledak. Pendidikan tanpa makna mungkin tampak rapi di atas kertas, tetapi rapuh dalam kenyataan. Bukan siapa yang mendapat nilai tertinggi, melainkan siapa yang tumbuh menjadi manusia paling bertanggung jawab.
***
*) Oleh : Saiful Bahri, M. Pd., Praktisi Pendidikan dan Guru MA Unggulan Cahaya Cendekia, Jimbaran, Badung, Bali.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |