TIMES BALI, JAKARTA – Coral Triangle Center (CTC) dan Photovoices International (PVI) berkolaborasi menggelar kegiatan webinar bertajuk “Tradisi Sasi dan Peran Perempuan Banda Mengelola Sumber Daya Laut."
Kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka memeringati Hari Laut Sedunia pada 8 Juni dan Hari Terumbu Segitiga Karang Dunia pada 9 Juni, ini menyoroti hasil studi gender dan kultural yang dilakukan CTC dan PVI dalam mengelola sumber daya kelautan di Kepulauan Banda, Maluku.
Hal ini selaras dengan tema yang diangkat dalam peringatan Hari Segitiga Terumbu Karang dunia tahun ini, yakni “Menyeimbangkan Konservasi Laut dan Ekonomi Biru”.
Tema tersebut juga menyoroti pentingnya praktik konservasi tradisional dalam pengelolaan sumber daya laut, seperti sasi, yang menjadi instrumen penting di wilayah Segitiga Terumbu Karang yang kaya terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Di Indonesia, salah satunya adalah Kepulauan Banda.
Kolaborasi Riset
Pada Oktober 2023, CTC dan PVI melakukan riset bersama dengan tujuan memahami peran gender dalam pengelolaan sumber daya kelautan di Banda. Paralel dengan studi tentang kesetaraan gender dan inklusi sosial (Gender Equity and Social Inclusion/GESI) yang dilakukan CTC, PVI menggunakan pendekatan Photovoices untuk melakukan kajian cepat tentang peranan perempuan dalam pengelolaan sumber daya laut di Pulau Lonthoir, Kepulauan Banda.
Studi GESI berfungsi untuk memberi masukan bagi intervensi responsif gender dan inklusi sosial yang dilakukan CTC di semua programnya dan di wilayah segitiga terumbu karang.
Hasil kajian yang dilakukan CTC dan PVI secara keseluruhan bertujuan menjelaskan pandangan yang terikat pada tradisi mengenai perbedaan peran laki-laki dan perempuan dan bagaimana meningkatkan partisipasi perempuan dalam sasi sebagai sistem pengelolaan sumber daya laut di Banda.
Kajian gender mengenai cara meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di Indonesia masih terbilang minim. Studi kasus di Kepulauan Banda ini pun tidak hanya untuk tujuan alasan praktis di wilayah sasaran, namun juga untuk mendukung efektivitas sumber daya kelautan yang berkelanjutan sejalan dengan Konvensi tentang Pulau Banda.
“CTC telah bekerja di Kepulauan Banda sejak tahun 2012 untuk melindungi keanekaragaman hayati laut yang kaya di kawasan tersebut. Kami bekerja sama dengan komunitas lokal untuk membantu membentuk kawasan konservasi laut, memperkuat sistem pengelolaan laut tradisional seperti sasi, dan memastikan bahwa konservasi laut bersifat inklusif, serta memberikan manfaat bagi komunitas yang bergantung pada sumber daya tersebut sebagai mata pencaharian mereka," kata Rili Djohani, Direktur Eksekutif Coral Triangle Center, dalam keterangan resminya diterima TIMES Indonesia, Sabtu (8/6/2024)
"Agar konservasi laut berjalan efektif, kita harus bersifat inklusif dalam pendekatan kita, dan memberdayakan baik perempuan maupun laki-laki, sehingga mereka dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam pengelolaan sumber daya laut mereka," tambahnya.
Menurut, kepercayaan tradisi masyarakat Banda, Laut Banda adalah perempuan, ikan adalah keturunan Banda, pala adalah buah dari surga, dan tanah adalah awal kehidupan.
"Budaya menjadi core bagi kehidupan masyarakat Banda dan perempuan di Banda memainkan peranan penting dalam melestarikan budaya, yang sekaligus berdampak kuat pada pelestarian hutan dan laut," kata Muhamad Farid, Rektor Universitas Banda Neira.
Hasil Riset
Kajian CTC-PVI dilakukan di tiga desa, yakni di Lonthoir, Run, dan Ay, yang dilakukan secara kualitatif dan menggunakan focus group discussion (FGD).
Studi ini melibatkan 51 orang terdiri atas 26 perempuan dan 25 laki-laki, yang merupakan perwakilan dari pemerintah desa, organisasi adat, dan komunitas remaja, nelayan, pendidikan, dan kelompok perempuan.
"CTC dan PVI mendiseminasikan hasil studi GESI di Kepulauan Banda untuk menjelaskan pengaruh pandangan tradisional terhadap perbedaan peran laki-laki dan perempuan serta bagaimana meningkatkan partisipasi dan keterlibatan perempuan dalam praktik sasi untuk menjaga keberlanjutan sumber daya laut di Banda," kata Hesti Widodo, Senior Program Manager Coral Triangle Center.
Ia menjelaskan, hasil kajian memperlihatkan perbedaan persepsi tentang peranan laki-laki dan perempuan dalam melakukan kegiatan mata pencaharian.
Misalnya, di Lonthoir, kaum laki-laki beranggapan bahwa kegiatan pengumpulan kenari adalah kegiatan perempuan, sementara kaum perempuan beranggapan hal ini adalah pekerjaan laki-laki maupun perempuan.
Bagi perempuan Lonthoir, pekerjaan laki-laki adalah menangkap gurita, sementara kaum laki-laki beranggapan ini adalah aktivitas keduanya. Pun halnya di Rhun dan Ay, kaum perempuan mengatakan bahwa mereka memancing ikan di zona perairan pasang surut, sementara kaum laki-laki beranggapan bahwa memancing adalah pekerjaan mereka dan zona pasang surut adalah zona laki-laki.
Adanya perbedaan pandangan ini disebabkan, utamanya, karena tradisi yang berlaku di desa, yang bisa berbeda-beda di setiap desa.
“Perbedaan persepsi juga terlihat terhadap partisipasi perempuan di ranah publik. Perempuan dianggap hanya terlibat dalam kegiatan sosial dan keagamaan, sedangkan laki-laki terlibat dalam organisasi berbasis kegiatan ekonomi, meski perempuan juga berperan dalam kegiatan ekonomi,” kata Ria Fitriana, Senior Konsultan Coral Triangle Center.
Ria menambahkan, terkait dengan sasi, tradisi yang telah jamak ditemukan di wilayah Maluku dan Papua ini justru masih terbilang baru di Banda. Masyarakat masih berproses untuk mengadopsi sasi sebagai sistem pengelolaan sumber daya alam laut dan baru dideklarasikan oleh pemerintah desa.
Melalui pendekatan fotografi partisipatif, PVI melakukan kajian cepat tentang peranan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dengan 8 perempuan di Lonthoir dan menghasilkan 28 foto yang mengungkap isu dari hasil pemetaan masalah dan menjadi isu yang didorong oleh para peserta.
Direktur Eksekutif Photovoices International, Tri Soekirman mengatakan, setelah mengikuti program Photovoices, peserta menjadi lebih menyadari adanya ancaman terhadap sumber daya alam laut dan darat, serta menyatakan ingin terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam.
Kesadaran ini juga tercermin dalam foto-foto yang diambil para peserta, yang kemudian dipamerkan di depan para pemangku kepentingan.
“Para perserta sendirilah yang melakukan presentasi, menjelaskan isi foto ke hadapan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah desa, pemimpin desa dan adat, serta warga. Ini menjadi kali pertama bagi para perempuan untuk dapat mengekspresikan di ranah publik dan bahkan dilibatkan untuk membicarakan isu-isu yang dianggap penting,” ujarnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Hasil Riset Kiprah Perempuan Kepulauan Banda Menjaga Laut
Pewarta | : Moh Ramli |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |