Berita

Tiga Pasal Kontroversial dalam RKUHP Menurut KiSSNed

Senin, 27 Juni 2022 - 16:23
Tiga Pasal Kontroversial dalam RKUHP Menurut KiSSNed Demonstrasi menolak RKUHP. (FOTO: dok suara.com)

TIMES BALI, JAKARTA – Forum Kajian Isu Strategis Negara Demokrasi (KiSSNed) memberikan sorotan terhadap pasal-pasal dalam draf revisi RKUHP yang dapat menimbulkan kerancuan di masyarakat. Beberapa pasal tersebut bahkan berpotensi membungkam demokrasi di Indonesia.

"Draf RKUHP mendapat banyak catatan karena pasal yang terkandung di dalam draf tersebut cenderung merugikan masyarakat," tegas Koordinator Forum Kajian Isu Strategis Negara Demokrasi (KiSSNed), Erlangga Abdul Kalam, dalam keterangannya kepada TIMES Indonesia, Senin (27/6/2022).

Ia mengungkapkan, total draf RKUHP berjumlah 600 pasal dan mengatur 14 isu yang sangat krusial. Adapun beberapa pasal yang kini menjadi sorotan masyarakat di antaranya pasal yang mengatur tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara dan Demonstrasi.

Hal itu terjadi karena pasal-pasal tersebut sangat populis dan erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat sehingga dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat sebagai penerima kebijakan.

"Pasal pertama yang kontroversi adalah Pasal 218 RKUHP tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden," kata Erlangga.

Dalam Pasal 218 RKUHP ayat 1 disebutkan bahwa 'Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6(enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV'.

"Pasal 218 RKUHP ini yang paling membuat gaduh di masyarakat. Kenapa? Karena sebelumnya pasal 218 ini sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga menjadi wajar kalau saat ini timbul kegaduhan di masyarakat," ucapnya.

Erlangga menyinggung pernyataan Wamenkumham Eddy Omar Sharif Hirairej yang mengatakan kepada media bahwa pasal tersebut berbeda dengan pasal yang dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu disampaikan dalam rapat lanjutan pembahasan RKUHP di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 25 Mei 2022.

Forum KiSSNed kemudian melakukan kajian mendalam atas draf RKUHP tersebut. Dan, ternyata apa yang disampaikan oleh Wamenkumham terkait Pasal 218 memang berbeda dengan apa yang dulu dimatikan oleh MK. Hal itu ibuktikan dengan perubahan dalam pasal itu, dari delik biasa ke delik aduan.

Pasal 218 RKUHP, menurut Erlangga semata-mata hanya untuk menjaga harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Karenanya wajar kalau kemudian harkat dan martabat orang nomer satu dan dua di Indonesia ini harus dijaga. 

"Secara subtantif kami juga melihat bahwa pasal ini tidak membatasi ruang rakyat untuk menyampaikan kritik," ucapnya.

Ditekankan, kritik yang membangun itu pasti berangkat dari penyampaian tutur kata yang baik. Apabila disampaikan dengan bahasa yang sarkas itu jatuhnya adalah hinaan. Karenanya Forum KiSSNed menilai bahwa pasal ini sah-sah saja dimasukan ke dalam RKUHP.

Meskipun secara penjelasan di dalam draf Pasal 218 ini sudah berbeda, tapi seringkali secara kontekstual dalam pelaksanaan dilapangan suka berbeda. Ini yang kadang suka buat kita dilematis, tapi tinggal kita kembalikan saja tahap peroses pelaksanaannya nanti ke penegak hukum.

Pasal kedua yang masuk dalam sorotan KiSSNed adalah Pasal 353 RKUHP yang mengatur mengenai Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara sekaligus pasal 354 mengenai Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara melalui Media Elektronik dengan ancaman 1 tahun 6 bulan.

Pasal 353 dan 354 ini, kata Erlangga, terindikasi membungkam ruang demokrasi. Hal ini terlihat dari bunyi pasalnya yang sangat anti kritik. Ia lantas mempertanyakan bagaimana mugkin perubahan Negara itu tercipta jika instansi atau lembaganya anti terhadap kritik.

"Bukankah kita sama-sama mengiginkan menjadikan Negara ini sebagai Negara yang maju? Kalau mau maju, tentu harus ada perbaikan yang dilakukan dan perbaikan itu berangkat dari kritikan. Instrumennya memang seperti itu," ucapnya.

Selain itu, pasal 353 dan 354 RKUHP terlihat sangat abstrak dan sangat multitafsir sekali, tidak jelas individunya siapa yang merasa terhinakan. Lain halnya dengan Pasal 218 RKUHP, dimana itu ditunjukan untuk menjaga harkat dan martabat pribadinya, bukan kepada instansi atau lembaga Negara.

Secara sadar, tambahnya, keberadaan Pasal 353 dan Pasal 354 RKUHP ini juga akan mengikis ruang demokrasi secara perlahan. Sebab masyarakat tidak bisa lagi  mengkritik instansi atau lembaga baik secara langsung atau melalui media sosial.

"Anggap saja hinaan itu sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang masyarakat terhadap lembaga Negara. Artinya masyarakat masih peduli dan percaya terhadap instansi kepemerintahan," tegas Erlangga.

Karena pasal 353 dan 354 ini berpotensi karet, abstrak dan multitafsir yang nantinya bisa saja digunakan sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan, Forum KiSSNed menyarankan untuk pencegahan kesewenang-wenangan sebaiknya pasal 353 dan 354 RKUHP itu dihapuskan, karena secara logis pasal tersebut tidak lagi sehat.

Pasal ketiga yang menjadi sorotan kami adalah pasal 273 RKUHP yang mengatur tentang Demonstrasi. KiSSNed menyebut pasal ini sangat memberatkan, terlebih lagi bagi mahasiswa yang memang berperan sebagai kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah. Padahal  demonstrasi juga bagian tak terpisahkan untuk menjaga kepentingan umum.

"Bagi kami, Pasal 273 RKUHP berlawanan dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Meskipun selintas jika diperhatikan skemanya sama, hanya beda pada penambahan penekanan pidananya saja," beber Erlangga.

Ia menyatakan bahwa tanpa adanya pasal 273 RKUHP saja tidak bisa menjamin bahwa sebuah aksi demonstrasi berjalan aman. Buktinya bisa dilihat dengan masifnya refresifitas bahkan penangkapan yang dilakukan oleh pihak keamanan terhadap massa demonstrasi dalam lima tahun terakhir.

"Di saat yang bersamaan, Pasal 273 RKUHP juga membuat Indonesia semakin terang benderang membuktikan bahwa sudah dibungkamnya ruang demokrasi rakyat," ucapnya.

Forum KiSSNed berharap DPR RI mencabut pasal 353, 354 dan 273 RKUHP. Sebab jelas sangat berpotensi mengekang masyarakat dalam menyampaikan aspirasi yang tentu saja muaranya akan menghambat proses menuju Indonesia maju. (*)

Pewarta : Sumitro
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Bali just now

Welcome to TIMES Bali

TIMES Bali is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.